Sabtu, 20 Juli 2019

berkah ramadan (cerpen)


Ramadhan Al-Karim, Ramadhan Berkah, Ramadhan istimewa, dan segala hal yang ada kata Ramadhan tiba-tiba menjadi trending topik di bulan Mei 2018 ini. Topik tentang teroris, kasus korupsi e-KTP dengan segala dramanya yang ngalahin drama korea, kasus trangender, kisah artis yang lagi naik daun (*pengen deh tak ganti sekali-kali jadi “artis yang sedang naik batang atau naik akar” gitu biar nggak mainstream), dan kasus-kasus lainya yang tak bisa ku ungkap satu per satu (karena kalau tak terusin nanti disini isinya malah cerita kasus-kasus yang ada di Indonesia, wkwk) semuanya kalah sama hastag kata “Ramadhan”. Saat itu pula “es kepal milo” harus turun dari kejayaanya digantikan oleh “es kolak dan es buah” yang selalu menang di bulan Ramadhan. Bagi kami, kaum sarungan (santri pondok pesantren) juga punya trending topik di pondok, yaitu adanya santri kilatan atau bisa kita sebut juga pasaran atau pasanan. Kalau di pondok santri kilatan ini lebih populer daripada artis yang lagi naik batang *eh naik daun maksudnya. Pasalnya tiap bulan puasa pondokku sering kedatangan santri kilatan dari berbagai daerah dan berbagai jenis suku bangsa dan budaya (kayak negara Indonesia, J).
Dulu, aku juga santri kilatan yang akhirnya kecantol menjadi santri beneran. Aku bersyukur Allah memperkenalkan aku dengan dunia pesantren dan segala kisah di dalamnya. Terhitung sudah 5 tahun aku mengabdi disini, di Pondok Al-Huda Kendal. 5 tahun bukan waktu yang sebentar ataupun lama, tapi waktu yang wajar bagi santri untuk mengabdi di Pesantren. Aku memutuskan untuk mengabdi di sini usai lulus SMA tahun 2013 silam. Sebenarnya niat awal adalah kuliah, dan saat itu aku sebenarnya juga sudah diterima di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang Fakultas Peternakan jalur undangan. Ramadhan sebelum masuk kuliah aku izin sama orang tua buat ikut ngaji kilatan di pesantren ini, sekalian ngisi waktu luang sebelum kuliah masuk (sebenarnya bosen di rumah terus, hehe). Ketika Ramadhan selesai entah kenapa niatku untuk kuliah berbelok ke pesantren, aku ingin menjadi seorang  santri bukan mahasiswa. Orang tua sempat tidak setuju dengan pilihanku tapi akhirnya merestui juga dengan segala jenis rayuan dan bujukan maut yang kulontarkan tiap harinya. Dan Alhamdulillah, orang tuaku bangga dengan aku yang sekarang, hasil didikan sebuah pesantren desa yang jauh dari hingar bingar kota. Tepatnya tiga tahun yang lalu ketika mereka diundang ke acara Haflah Khotmil Quran di Pondok dan menyaksikan aku di wisuda “khatam Al-Quran 30 juz bil - Ghaib”. Betapa menyenangkanya hari itu, melihat kedua orang tua yang kucintai menangis bahagia ketika aku maju ke atas panggung menjalani prosesi wisuda. Mungkin dulu ketika aku lebih memilih untuk kuliah, dalam waktu 3 tahun aku belum bisa membuat orang tuaku menangis bahagia. Meski begitu, di dalam hatiku yang terdalam hasrat untuk kuliah masih tetap ada. Rencana setelah lebaran ini aku berniat untuk memulai kuliah lagi. Pengen menikah juga tapi sayang jodoh masih belum terlihat.
Mungkin Ramadhan kali ini menjadi Ramadhan terakhirku di pondok. Setelah 5 tahun aku berjuang mencari berkah, sekarang aku ingin merasakan dunia perkuliahan. Beruntung aku memiliki orang tua seperti abah dan umi yang selalu mendukung setiap langkah yang ku pilih. satu bulan terakhir ini semoga menjadi pelengkap kenangan terindahku di pondok pesantren “Al-Huda” tercinta.
Suasana pondok sudah mulai berubah. Satu per satu santri pasanan sudah mulai datang. Kebetulan di kamarku juga kebagian santri pasanan 2 orang, Asti dan Julia namanya. Sebenarnya aku sudah sering melihat Asti ketika diajak Ibuk (Panggilan untuk Bunyai) pergi ke Pengajian bareng Ibu-Ibu di sekitar Pondok. Ternyata Asti memang warga di desa deket Pondok dan orang tuanya pun kenal dekat dengan Abah dan Ibuk. Kalau Julia, dia santri dari daerah Jawa Barat lebih tepatnya dari Sumedang. Sebagai santri senior ya wajarlah kalau aku perhatian dengan mereka, karena ini juga sebagai kewajiban. Semua hal yang mereka butuhkan aku ikut membantu menyiapkanya, termasuk kitab apa saja yang harus dibeli untuk ngaji pasanan tahun ini. Entah kebetulan atau bagaimana, disaat usiaku yang memasuki daftar masa pernikahan ini ngaji kitabnya adalah “Fathul Izar”. Aku merasa seperti mendapat Kode dari Abah (panggilan untuk Pak Yai) untuk langsung mengamalkanya. Huuuufft.. ku elus saja dadaku, semoga Allah masih menguatkan aku untuk bersabar menunggu sang imam datang menjemput. Wkwk
Ngaji sudah dimulai ketika hari pertama puasa. Lalu lalang santri dengan wajah baru mulai memenuhi lingkungan pondok. Tahun ini santri kilatan lumayan banyak, baik putra maupun putri. PonTren (Koperasi Pesantren) menjadi salah satu arena strategis untuk ngabuburit bagi santri putra khususnya yang senior untuk melihat santri kilatan putri yang lebih sering beli sesuatu di koperasi daripada di luar pondok. Entah sejak kapan koperasi menjadi tempat yang paling males aku kunjungi ketika aku di pondok. Aku lebih memilih pergi beli sesuatu di warung sekitar pondok atau nitip temen jika ingin beli sesuatu di koperasi. Apalagi ketika Kang Aji yang jaga. Rasanya tingkat malesku genap 100%. Aku masih ingat dulu, kira-kira 2 tahun yang lalu ketika Kang Aji sering nitip makanan kepada anak putri yang pergi ke koperasi untuk diberikan padaku. Awalnya aku biasa saja, namanya juga dapet rezeki masak mau nolak. Tapi lama-lama kok ada yang aneh dengan teman-teman, tiba-tiba saja satu pondok mengira kalau aku ada hubungan khusus sama Kang Aji. Bahkan Abah dan Ibuk pun sempat mendengar gosip itu dan ketika aku ikut Ibuk ke pengajian, beliau tanya kepadaku secara langsung.
“Fin, Awakmu karo Aji ki tenanan cedak tah ora?” (Fin, kamu sama Aji dekat beneran atau tidak?)
“mboten buk, niku bocah-bocah mawon ingkang remen gossip.” (tidak bu, itu teman-teman aja yang suka nggosip)
“nek tenanan Ibuk ngrestoni kok, Aji wonge y apik, pantes lah nek karo awakmu. Ngajimu yo wis rampung, arep ngenteni opo maneh?” (kalau serius Ibuk restui kok, Aji orangnya baik, pantes lah kalau sama kamu. Ngajimu kan juga sudah selesai mau nunggu apa lagi?) kata ibuk sambal tertawa menggoda.
“hehe.. nggeh doane mawon buk, tasih pengin ngaji lan insya Allah pengen kuliah” (iya buk minta doanya saja, masih ingin ngaji dan isnya Allah pengen kuliah).
“nek panci awakmu jodoh karo Aji, mbuh piye carane ki yo mesti bakal ketemu.” (kalau memang jodoh sama Aji, entah bagaimana caranya nanti pati bakal dipertemukan).
Aku hanya tersenyum. Inginku ku amini tapi aku masih belum yakin dengan yang namanya Kang Aji. Sebenarnya aku belum pernah ketemu Kang Aji secara langsung, mungkin hanya pernah melihatnya sekelebat saja dan itu tidak membuatku ingat wajahnya secara rinci. Apalagi sejak ada gosip itu aku benar-benar menghindari santri putra yang bernama Kang Aji.  Pernah sesekali aku mendengar cerita tentang Kang Aji. Menurut teman-teman dia termasuk santri putra kesayangan Abah, ngajinya juga bagus cuma ya itu, anaknya agak cengengesan dan sering banget keluar pondok, nggak tau pergi kemana. Ada yang bilang kalau dia pergi nongkrong bareng anak-anak desa lah, pergi ziarah ke makam wali-wali yang dekat pondok, ada juga yang bilang pulang ke rumah. Tak taulah mana yang benar, aku juga tidak terlalu mengurusi. Mengetahui tingkahnya yang suka nitip-nitip salam dan makanan sama santri lain saja udah bikin aku males, apalagi tau alasan dia keluar pondok. Nggak penting lah.
Sore itu, Asti dan Julia mengajakku pergi ke koperasi terus mampir sebentar ke rumah Asti yang tidak jauh dari pondok. Aku ingin menolak karena males nanti kalau ketemu sama yang namanya Kang Aji, tapi aku nggak enak sama Asti dan Julia, ya aku sadarlah sebagai santri senior harus mengayomi yang junior. Hemm.. dan akhirnya aku setuju. Sampai di Koperasi aku bertemu dengan Inayah dan kutanya dia, apakah Kang Aji ada di koperasi atau tidak. Ya maklumlah, wajahnya saja aku nggak tau pasti kayak gimana, nanti kalau ternyata dia di dalam kan aku yang bingung sendiri. Untungnya Inayah bilang kalau bukan Kang Aji yang jaga tapi Kang Burhan, dia juga bilang kalau selama satu tahun ini dia jarang melihat Kang Aji jaga di Koperasi. Ohh .. pantesan belakangan ini aku jarang dapet titipan salam sama makanan dari dia. Tapi kemana ya dia? Tumben amat..ah ya sudahlah, toh sekarang aku malah jadi lebih bebas ke Koperasi.
Ketika bayar belanjaan tiba-tiba Kang Burhan menyapaku dan lagi-lagi nitip salam dari kang Aji.
“Fina, dapat salam dari Aji, katanya Maaf nggak bisa ngasih makanan lagi. suruh beli sendiri katanya.”
Aku hanya senyum malas, tapi tiba-tiba instingku memberikan instruksi agar aku tanya dimana dia. Ah .. insting macam apa ini?
“Oh.. Kang Aji udah pindah pondok satu tahun yang lalu Fin, tapi kadang masih sering kesini kalau pas dia pulang dari pondok. Makanya anak-anak pada nggak tau kalau dia pindah. Kenapa Fin? Kamu kangen dia ya?”
Idiih,, ngobrol sama dia langsung aja nggak pernah masak kangen. Kangen sama kiriman makananya mungkin iya.” Batinku dalam hati
“nggak Kang, cuma tanya kok. Ya udah Kang, suwun ya.. pergi dulu” aku bersikap seperti biasa saja meskipun sebenarnya agak kaget saat tahu bahwa Kang Aji udah pindah pondok satu tahun yang lalu. Kok aku bisa nggak tau ya? Ini aku yang kudet apa emang beritanya gak sampai ke pondok putri ya? Ah. Taulah. Buakn urusanku juga.
Tidak ada 10 menit kami bertiga sudah sampai di rumah Asti. Rumahnya memang dekat dari pondok, apalagi kalau naik angkutan, nggak sampai 10 menit lah. Di rumah Asti, aku dan Julia duduk di ruang tamu sambil menyandarkan punggung yang terasa sedikit lelah. Asti masuk ke dalam entah mengambil apa. Karena aku orangnya bosenan dan suka penasaran sama tempat baru, jadi aku jalan-jalan di ruangan sekitar ruang tamu. Disudut ruang tersebut terdapat beberapa foto yang dipajang berjajar rapi. Ada juga foto satu keluarga dan disitu kuketahui ada Asti, orang tuanya, dan satu cowok yang berdiri disebelah bapaknya. Kalau menurutku sih itu kakaknya Asti, soalnya kalau adik kayaknya gak mungkin. Wajahnya terlalu tua untuk menjadi adik Asti yang baru mau kuliah semester 1. Sekilas aku seperti familiar dengan foto tersebut, tapi aku tidak tahu persis siapa dia. Ah sudahlah, mungkin aku melihatnya ketika ikut ngaji Ibuk dulu, kan dia kakaknya Asti pasti juga sering bolak balik di sekitar sini.
“itu kakakku mbak, namanya Firman.” Suara Asti dari belakang mengagetkanku yang sedang berpikir tentang siapa cowok itu.
“eh Dek Asti..“ kataku refleks dan sedikit kelabakan. Aku mencoba untuk tetap terlihat biasa saja, takut nanti Asti mikir yang aneh-aneh. “aku kayak pernah lihat kakakmu dek, tapi lupa dimana, mungkin pas aku ikut Ibuk ke pengajian kali ya?” lanjutku
“owh mungkin pernah mbak, dulu kan kakaku juga mondok di Al-Huda, baru pindah pondok tahun lalu. Katanya sedang berusaha memantaskan diri untuk menjemput jodoh. Tau tuh jodohnya dimana. Dia emang kadang suka aneh sih mbak, aku yang adiknya aja kadang bingung. Tapi aku seneng sih dia mondok yang jauh dari rumah, jadi gak bisa pulang sesukanya. Wkwk” jelas Asti.
“loh, mondok di Al-Huda juga? Emm mungkin aku pernah ketemu di pondok kali ya, tapi dulu belum tahu kalau itu kakakmu, jadi ya nggak tak sapa juga. Hehe”
“dulu juga Mbak Fina belum kenal aku kan?”
“belum,, hehe”.
Asti hanya tersenyum lalu pergi ke belakang sebentar dan tak lama kemudian kembali lagi dengan menenteng sesuatu di tangan kanannya.
“ya udah mbak, pulang yuk, nanti sampai pondok kesorean nggak enak, keburu ngaji juga. Ibuk sama bapak belum pulang jadi nggak bisa bawa makanan banyak, ini seadanya aja yang di kulkas tak bawa.”
Aku mengangguk dan langsung bergegas kembali ke pondok. Sekilas kulihat isi plastik yang dibawa Asti, ternyata isinya buah-buahan dan beberapa roti kering. “kayak gitu dibilang apa adanya? itu aja nanti pasti jadi rebutan.” Batinku dalam hati.
Tak terasa lebaran kurang beberapa hari lagi. toko-toko sudah mulai melakukan pemberian diskon besar-besaran untuk menyambut lebaran dan perusahaan mulai memberi cuti untuk karyawanya. Ketika teringat bahwa ini adalah Ramadhan terakhirku di pondok aku merasa lebih berat pergi dari sini. Terlalu banyak kenangan yang kuhabiskan disini. Mungkin emang gak terlalu menarik sih karena aku bukan orang yang suka melakukan sesuatu di luar garis aman, jadi ya kenanganku gitu-gitu aja. Tapi ya tetap saja, 5 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menciptakan berbagai kenangan. Satu per satu para santri kembali ke rumah masing-masing baik yang kilatan maupun yang santri beneran termasuk aku. Ramadhan ini aku pulang untuk seterusnya, Abah dan Umiku datang menjemput sekalian pamitan sama Yai dan Bunyai. Barang-barang yang kubawa pulang tidak terlalu banyak karena sebagian sudah kubawa pulang dulu sebelum lebaran, ada juga yang kuhibahkan untuk anak-anak. Ya begitulah tradisinya, kalau ada santri senior boyong harus ada kenang-kenangan yang ditinggal untuk santri lainya. Aku dulu juga pernah dapat kerudung dari Mbak Ayis ketika dia mau boyong, eh sekarang malah gentian aku yang bagi-bagi. Ya begitulah hidup akan terus berputar. Suatu saat nanti kamu juga akan merasakan apa yang mereka rasakan meskipun hanya sekali.
Setelah Lebaran aku sudah mulai mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan perkuliahan. Alhamdulillah aku sudah diterima di UNSIQ Wonosobo pada bulan Ramadhan kemarin. Jadi aku tinggal mengurus administrasi yang lainya termasuk tempat tinggalku disana nanti. Meskipun Abah dan Umi sudah merestui aku kuliah, tapi mereka masih terus mendesakku untuk segera menikah. Setiap kali ngobrol bersama selalu ujung-ujungnya memberi kode untukku segera menikah. Ahhh.. aku sebenarnya juga mau, tapi belum menemukan imam yang tepat saja. Sudah ada beberapa yang datang ke rumah sih, tapi ya begitu, aku masih kurang klik dengan semuanya. Endingnya, Umi akan menceramahiku dari Shubuh sampe Maghrib.
Besok Abah Nafi’ (Pak Yai ku) mau ke desaku mengisi pengajian dalam rangka sedekah bumi. Sengaja aku mengusulkan mauidzohnya yang mengisi Abah Nafi’ supaya sekalian bisa mampir ke rumahku. Dan pas aku kabari, alhamdulillah beliau mau mampir ke rumah. Bahkan kata beliau, sekalian satu keluarga ikut dan ngajak santri juga. Ada hal yang mau dibicarakan sama Abah dan Umi katanya. Aku agak penasaran, kok tumben ya. Biasanya kalau ngisi pengajian paling Abah hanya berangkat dengan 2 atau 3 santri saja. Lah ini kok sampe bawa satu keluarga mau apa ya? Husnudzonku, karena Abah dan Ibuk kangen sama aku. Hehee.
Acara Pengajian dimulai jam 7 malam (ba’da isya’) tapi Ibuk berangkat dari Kendal jam 1 siang dan sampai di rumahku mungkin sekitar jam 2 atau setengah 3. Segala kebutuhan untuk penyambutan tamu agung sudah siap. Ketika Mobil Ibuk sampai di depan rumah aku langsung menghampiri untuk salaman dan memberi hormat kepada Ibuk dan Abah Nafi’ yang juga di sambut oleh Abahku. Selesai salaman, tiba-tiba Ibuk membisikkan sesuatu di telingaku.
“Ibuk rene karo Aji lan keluarga, tak restuni, mugo-mugo barokah. (ibuk kesini sama Aji sekeluarga, tak restui, semoga barokah)”
Jlep. Seketika aku mengangkat wajahku ke atas menatap Ibuk dengan Wajah kaget nggak percaya dengan apa yang diucapkan barusan. Aku bagaikan kena serangan listrik 200V. “ngapain juga Ibuk ngajak Kang Aji dan keluarganya? Ada kata-kata direstui lagi, yang barokah sih gak papa, tapi ini maksudnya apanya yang barokah? Perasaan juga hanya ada satu mobil, dan Kang Aji juga nggak muncul bareng mobil Ibuk, hanya beberapa santri yang turun bersama ibuk dan itu pun cewek semua.” Batinku dalam hati.
Tiba-tiba dari belakang ada mobil lagi yang berjalan ke arah rumahku. Haduh firasatku udah nggak baik ini. Dan ternyata benar itu mobil Kang Aji. Aku tak berani melihatnya, kutundukkan saja wajahku. Mendengar Abah  Nafi’ memanggil nama Aji saja sudah membuatku bingung mau ngapain apalagi harus menyambutnya sendiri.
“Mbak Finaaa.. “ suara cewek yang familiar ku dengar memanggilku dari arah mobil keluarga Kang Aji. Akhirnya kuangkat wajahku dan mencari sumber suara. Ternyata benar dugaanku, itu suara Asti. Aku mempersilahkan Ibuk masuk rumah bersama Umi lalu aku pergi menghampiri Asti dan mengajaknya masuk ke dalam
“Dek Asti? Kesini ikut Ibuk? Bukannya kamu udah pulang ke rumah?” tanyaku ketika sudah sampai di dalam rumah.
“nggak mbak, aku sama keluargaku. Sama kakaku juga, Kak Firman. Inget to? Orang di foto yang sering kuceritain itu lho. Inget kan?”
Firman? Bukanya yang satu keluarga kesini itu Kang Aji? Kok Firman kakaknya Asti sih? Aku celingukan mencari wajah yang ada di foto untuk memastikan siapa sebenarnya yang datang, jangan-jangan Ibuk tadi hanya menggodaku. Ah.. kutemukan wajah yang di foto, agak beda sedikit sih. Yang asli lebih keren maksudnya.. hehe. Tapi aku masih bingung sebenarnya dia Firman atau Kang Aji? Jangan-jangan…
“nama lengkap kakakmu siapa dek?”
“emm.. Firman Aji Saka kayaknya mbak, aku juga agak lupa. Hehe J tapi kayaknya itu bener.”
Mendengar nama itu tiba-tiba aku memiliki firasat yang tidak baik. Di saat aku berpikir tentang kebenaran antara Firman dan Kang Aji, Umi datang menghampiriku dan Asti di ruang keluarga.
“Nak Aji mau ngomong sama kamu Fin, penting.” Kata Umi. Aku hanya mengangguk dan berjalan ke ruang tamu di belakang Umi. Sampai di ruang tamu aku melihat jelas wajah yang dipanggil Kang Aji. Dan itu adalah wajah yang sama denga foto di rumah Asti.
Jadi firasatku benar bahwa dia adalah Kang Aji alias Firman? Oh Tuhaan.. sempit sekali dunia ini. Bagaimana mungkin aku suka sekaligus tidak suka dengan satu orang? Aku suka dengan Firman tapi tidak suka dengan Kang Aji, padahal mereka satu tubuh. Apa karena aku yang tak pernah melihat dia bagaimana dan hanya menilai dari cerita orang saja? Ampuni aku ya Allah. Seketika itu aku malu dengan diriku sendiri. Sampai di ruang tamu aku terus menunduk, tak sanggup meliha wajah Firman.
“Alfina, dengan bismillah dan segala tekad yang kumiliki, hari ini aku memberanikan diri untuk meminta tanggung jawab atas dirimu dari orang tuamu. Mungkin sebelumnya kamu sudah mengenalku ketika di pondok, ya begitulah aku dengan segala kekurangan yang kumiliki. Aku berharap kamu mau melengkapi kekuranganku dengan kelebihan yang kamu miliki dan semoga aku bisa ridla dengan jawaban apapun yang kamu berikan.” Kata Kang Aji dengan nada serius dan penuh makna di hadapan orang tuaku, orang tua dia, dan Abah Ibuk. Ya Allah… perasaan macam apa ini? Kenapa hatiku tiba-tiba luluh dengan perkataan Kang Aji? Kenapa dia jadi terlihat berbeda? Rasanya mulutku tak sanggup untuk berkata “tidak”. Padahal sebelumnya aku mudah saja mengambil keputusan untuk tidak menerima lamaran laki-laki yang datang ke rumah. Aku ingin bilang iya tapi posisi aku mau kuliah, terus aku harus gimana?
“kami semua sudah setuju nak, sekarang keputusan ada di tanganmu. Kamu tidak usah berpikir bagaimana kuliahmu nanti, tadi kami sudah menemukan solusinya. Kebetulan kemarin Firman di minta untuk mengajar ngaji di salah satu pondok pesantren di Wonosobo, jadi setelah menikah nanti kamu bisa tinggal bersama dia. Ya memang gak terlalu bagus tempatnya, tapi insya Allah fasilitas terpenuhi dengan baik. Bagaimana?” kata Ibunya kang Aji yang seolah mengerti apa yang sedang kupikirkan. Ya Allah kenapa momenya tepat sekali? Semuanya terjadi seperti apa yang aku doakan setiap malam meskipun orang yang Engkau kirim adalah dia yang tak pernah terlintas sedikitpun akan menjadi imamku. Cara-Mu memperkenalkan kekuasaan yang Kau miliki sungguh indah. Semoga ini adalah takdir yang terbaik dari-Mu.
“Bismillahirrohmanirrahim.. dengan ridla Allah Alfina menerima lamaran Kang Firman bah, mi.” Kataku dengan perlahan dan sedikit menahan gerogi.
“Alhamdulillah…” serentak semua orang yang berada di ruang tamu mengucapkan hal yang sama. Sekilas ku lihat Kang Firman tersenyum lega seperti terbebas dari jeratan tali yang mengikat tubuhnya. Ahhh apa yang sedang kurasakan? Aku merasa ini masih seperti mimpi. Terima kasih Tuhan.
Aku mengerti bahwa tak semua yang baik di mata masyarakat baik juga di hadapanmu. Mungkin dulu aku memang dianggap tidak bisa berpikir normal karena lebih memilih mondok dan meninggalkan kuliahku. Aku dulu juga sempat ragu, tapi nggak tau kenapa hatiku mendorong untuk tetap bertahan. Sekarang setelah tidak di pondok lagi, aku mengerti apa yang membuatku lebih memilihnya. Iya, itu cinta. Aku cinta dengan pondok, aku cinta dengan Abah Nafi’, aku cinta dengan segala sesuatu yang ada disana. Apalagi dengan petuah Abah Nafi’ yang selalu mengena di hati. Kelemah-lembutan yang beliau berikan mampu meluluhkan hati para santri yang mendengarnya. Aku pernah berharap semoga imamku nanti seperti beliau yang penuh kasih sayang dan lemah lembut, yang memahami secara benar makna tanaman padi (semakin berisi semakin merunduk).
Aku masih teringat sekali dengan pesan Abah Nafi’ terhadap semua santrinya “belajarlah dalam segala hal, baik di sekolah, di pondok, di kuliahan, atau bahkan dijalan pun kamu harus tetap belajar tapi ya ndak berarti kamu jalan sambil baca buku gitu. Belajar dari apa yang kamu lihat, kamu baca, kamu dengar dan kamu rasakan. Kalau sudah paham ajarkan pada yang lain yang belum mengerti. Sekiranya ilmu yang kamu ajarkan nanti bermanfaat untuk seterusnya dan bisa jadi amal jariyahmu yang kamu tunggu nanti pas kamu udah kembali.”
Ya Allah Abah.. aku rindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar