Ramadhan
Al-Karim, Ramadhan Berkah, Ramadhan istimewa, dan segala hal yang ada kata
Ramadhan tiba-tiba menjadi trending topik di bulan Mei 2018 ini. Topik tentang
teroris, kasus korupsi e-KTP dengan segala dramanya yang ngalahin drama korea,
kasus trangender, kisah artis yang lagi naik daun (*pengen deh tak ganti
sekali-kali jadi “artis yang sedang naik batang atau naik akar” gitu biar nggak
mainstream), dan kasus-kasus lainya yang tak bisa ku ungkap satu per satu
(karena kalau tak terusin nanti disini isinya malah cerita kasus-kasus yang ada
di Indonesia, wkwk) semuanya kalah sama hastag kata “Ramadhan”. Saat itu pula
“es kepal milo” harus turun dari kejayaanya digantikan oleh “es kolak dan es
buah” yang selalu menang di bulan Ramadhan. Bagi kami, kaum sarungan (santri
pondok pesantren) juga punya trending topik di pondok, yaitu adanya santri
kilatan atau bisa kita sebut juga pasaran atau pasanan. Kalau di pondok santri
kilatan ini lebih populer daripada artis yang lagi naik batang *eh naik daun
maksudnya. Pasalnya tiap bulan puasa pondokku sering kedatangan santri kilatan
dari berbagai daerah dan berbagai jenis suku bangsa dan budaya (kayak negara
Indonesia, J).
Dulu,
aku juga santri kilatan yang akhirnya kecantol menjadi santri beneran. Aku bersyukur
Allah memperkenalkan aku dengan dunia pesantren dan segala kisah di dalamnya.
Terhitung sudah 5 tahun aku mengabdi disini, di Pondok Al-Huda Kendal. 5 tahun
bukan waktu yang sebentar ataupun lama, tapi waktu yang wajar bagi santri untuk
mengabdi di Pesantren. Aku memutuskan untuk mengabdi di sini usai lulus SMA
tahun 2013 silam. Sebenarnya niat awal adalah kuliah, dan saat itu aku
sebenarnya juga sudah diterima di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang
Fakultas Peternakan jalur undangan. Ramadhan sebelum masuk kuliah aku izin sama
orang tua buat ikut ngaji kilatan di pesantren ini, sekalian ngisi waktu luang
sebelum kuliah masuk (sebenarnya bosen di rumah terus, hehe). Ketika Ramadhan
selesai entah kenapa niatku untuk kuliah berbelok ke pesantren, aku ingin menjadi
seorang santri bukan mahasiswa. Orang
tua sempat tidak setuju dengan pilihanku tapi akhirnya merestui juga dengan
segala jenis rayuan dan bujukan maut yang kulontarkan tiap harinya. Dan Alhamdulillah,
orang tuaku bangga dengan aku yang sekarang, hasil didikan sebuah pesantren
desa yang jauh dari hingar bingar kota. Tepatnya tiga tahun yang lalu ketika
mereka diundang ke acara Haflah Khotmil Quran di Pondok dan menyaksikan aku di
wisuda “khatam Al-Quran 30 juz bil - Ghaib”. Betapa menyenangkanya hari itu,
melihat kedua orang tua yang kucintai menangis bahagia ketika aku maju ke atas
panggung menjalani prosesi wisuda. Mungkin dulu ketika aku lebih memilih untuk
kuliah, dalam waktu 3 tahun aku belum bisa membuat orang tuaku menangis
bahagia. Meski begitu, di dalam hatiku yang terdalam hasrat untuk kuliah masih
tetap ada. Rencana setelah lebaran ini aku berniat untuk memulai kuliah lagi.
Pengen menikah juga tapi sayang jodoh masih belum terlihat.
Mungkin
Ramadhan kali ini menjadi Ramadhan terakhirku di pondok. Setelah 5 tahun aku
berjuang mencari berkah, sekarang aku ingin merasakan dunia perkuliahan.
Beruntung aku memiliki orang tua seperti abah dan umi yang selalu mendukung
setiap langkah yang ku pilih. satu bulan terakhir ini semoga menjadi pelengkap
kenangan terindahku di pondok pesantren “Al-Huda” tercinta.
Suasana
pondok sudah mulai berubah. Satu per satu santri pasanan sudah mulai datang.
Kebetulan di kamarku juga kebagian santri pasanan 2 orang, Asti dan Julia
namanya. Sebenarnya aku sudah sering melihat Asti ketika diajak Ibuk (Panggilan
untuk Bunyai) pergi ke Pengajian bareng Ibu-Ibu di sekitar Pondok. Ternyata
Asti memang warga di desa deket Pondok dan orang tuanya pun kenal dekat dengan
Abah dan Ibuk. Kalau Julia, dia santri dari daerah Jawa Barat lebih tepatnya
dari Sumedang. Sebagai santri senior ya wajarlah kalau aku perhatian dengan
mereka, karena ini juga sebagai kewajiban. Semua hal yang mereka butuhkan aku
ikut membantu menyiapkanya, termasuk kitab apa saja yang harus dibeli untuk
ngaji pasanan tahun ini. Entah kebetulan atau bagaimana, disaat usiaku yang
memasuki daftar masa pernikahan ini ngaji kitabnya adalah “Fathul Izar”. Aku
merasa seperti mendapat Kode dari Abah (panggilan untuk Pak Yai) untuk langsung
mengamalkanya. Huuuufft.. ku elus saja dadaku, semoga Allah masih menguatkan
aku untuk bersabar menunggu sang imam datang menjemput. Wkwk
Ngaji
sudah dimulai ketika hari pertama puasa. Lalu lalang santri dengan wajah baru
mulai memenuhi lingkungan pondok. Tahun ini santri kilatan lumayan banyak, baik
putra maupun putri. PonTren (Koperasi Pesantren) menjadi salah satu arena
strategis untuk ngabuburit bagi santri putra khususnya yang senior untuk
melihat santri kilatan putri yang lebih sering beli sesuatu di koperasi
daripada di luar pondok. Entah sejak kapan koperasi menjadi tempat yang paling
males aku kunjungi ketika aku di pondok. Aku lebih memilih pergi beli sesuatu
di warung sekitar pondok atau nitip temen jika ingin beli sesuatu di koperasi.
Apalagi ketika Kang Aji yang jaga. Rasanya tingkat malesku genap 100%. Aku
masih ingat dulu, kira-kira 2 tahun yang lalu ketika Kang Aji sering nitip makanan
kepada anak putri yang pergi ke koperasi untuk diberikan padaku. Awalnya aku
biasa saja, namanya juga dapet rezeki masak mau nolak. Tapi lama-lama kok ada
yang aneh dengan teman-teman, tiba-tiba saja satu pondok mengira kalau aku ada
hubungan khusus sama Kang Aji. Bahkan Abah dan Ibuk pun sempat mendengar gosip
itu dan ketika aku ikut Ibuk ke pengajian, beliau tanya kepadaku secara langsung.
“Fin,
Awakmu karo Aji ki tenanan cedak tah ora?” (Fin,
kamu sama Aji dekat beneran atau tidak?)
“mboten
buk, niku bocah-bocah mawon ingkang remen gossip.” (tidak bu, itu teman-teman aja yang suka nggosip)
“nek
tenanan Ibuk ngrestoni kok, Aji wonge y apik, pantes lah nek karo awakmu.
Ngajimu yo wis rampung, arep ngenteni opo maneh?” (kalau serius Ibuk restui kok, Aji orangnya baik, pantes lah kalau sama
kamu. Ngajimu kan juga sudah selesai mau nunggu apa lagi?) kata ibuk sambal
tertawa menggoda.
“hehe..
nggeh doane mawon buk, tasih pengin ngaji lan insya Allah pengen kuliah” (iya buk minta doanya saja, masih ingin
ngaji dan isnya Allah pengen kuliah).
“nek
panci awakmu jodoh karo Aji, mbuh piye carane ki yo mesti bakal ketemu.” (kalau memang jodoh sama Aji, entah
bagaimana caranya nanti pati bakal dipertemukan).
Aku
hanya tersenyum. Inginku ku amini tapi aku masih belum yakin dengan yang
namanya Kang Aji. Sebenarnya aku belum pernah ketemu Kang Aji secara langsung,
mungkin hanya pernah melihatnya sekelebat saja dan itu tidak membuatku ingat
wajahnya secara rinci. Apalagi sejak ada gosip itu aku benar-benar menghindari
santri putra yang bernama Kang Aji. Pernah
sesekali aku mendengar cerita tentang Kang Aji. Menurut teman-teman dia
termasuk santri putra kesayangan Abah, ngajinya juga bagus cuma ya itu, anaknya
agak cengengesan dan sering banget keluar pondok, nggak tau pergi kemana. Ada
yang bilang kalau dia pergi nongkrong bareng anak-anak desa lah, pergi ziarah
ke makam wali-wali yang dekat pondok, ada juga yang bilang pulang ke rumah. Tak
taulah mana yang benar, aku juga tidak terlalu mengurusi. Mengetahui tingkahnya
yang suka nitip-nitip salam dan makanan sama santri lain saja udah bikin aku
males, apalagi tau alasan dia keluar pondok. Nggak penting lah.
Sore
itu, Asti dan Julia mengajakku pergi ke koperasi terus mampir sebentar ke rumah
Asti yang tidak jauh dari pondok. Aku ingin menolak karena males nanti kalau
ketemu sama yang namanya Kang Aji, tapi aku nggak enak sama Asti dan Julia, ya
aku sadarlah sebagai santri senior harus mengayomi yang junior. Hemm.. dan
akhirnya aku setuju. Sampai di Koperasi aku bertemu dengan Inayah dan kutanya
dia, apakah Kang Aji ada di koperasi atau tidak. Ya maklumlah, wajahnya saja
aku nggak tau pasti kayak gimana, nanti kalau ternyata dia di dalam kan aku
yang bingung sendiri. Untungnya Inayah bilang kalau bukan Kang Aji yang jaga
tapi Kang Burhan, dia juga bilang kalau selama satu tahun ini dia jarang
melihat Kang Aji jaga di Koperasi. Ohh .. pantesan belakangan ini aku jarang
dapet titipan salam sama makanan dari dia. Tapi kemana ya dia? Tumben amat..ah
ya sudahlah, toh sekarang aku malah jadi lebih bebas ke Koperasi.
Ketika
bayar belanjaan tiba-tiba Kang Burhan menyapaku dan lagi-lagi nitip salam dari
kang Aji.
“Fina,
dapat salam dari Aji, katanya Maaf nggak bisa ngasih makanan lagi. suruh beli
sendiri katanya.”
Aku
hanya senyum malas, tapi tiba-tiba instingku memberikan instruksi agar aku
tanya dimana dia. Ah .. insting macam apa ini?
“Oh..
Kang Aji udah pindah pondok satu tahun yang lalu Fin, tapi kadang masih sering
kesini kalau pas dia pulang dari pondok. Makanya anak-anak pada nggak tau kalau
dia pindah. Kenapa Fin? Kamu kangen dia ya?”
“Idiih,, ngobrol sama dia langsung aja nggak
pernah masak kangen. Kangen sama kiriman makananya mungkin iya.” Batinku
dalam hati
“nggak
Kang, cuma tanya kok. Ya udah Kang, suwun ya.. pergi dulu” aku bersikap seperti
biasa saja meskipun sebenarnya agak kaget saat tahu bahwa Kang Aji udah pindah
pondok satu tahun yang lalu. Kok aku bisa nggak tau ya? Ini aku yang kudet apa
emang beritanya gak sampai ke pondok putri ya? Ah. Taulah. Buakn urusanku juga.
Tidak
ada 10 menit kami bertiga sudah sampai di rumah Asti. Rumahnya memang dekat
dari pondok, apalagi kalau naik angkutan, nggak sampai 10 menit lah. Di rumah
Asti, aku dan Julia duduk di ruang tamu sambil menyandarkan punggung yang
terasa sedikit lelah. Asti masuk ke dalam entah mengambil apa. Karena aku orangnya
bosenan dan suka penasaran sama tempat baru, jadi aku jalan-jalan di ruangan
sekitar ruang tamu. Disudut ruang tersebut terdapat beberapa foto yang dipajang
berjajar rapi. Ada juga foto satu keluarga dan disitu kuketahui ada Asti, orang
tuanya, dan satu cowok yang berdiri disebelah bapaknya. Kalau menurutku sih itu
kakaknya Asti, soalnya kalau adik kayaknya gak mungkin. Wajahnya terlalu tua
untuk menjadi adik Asti yang baru mau kuliah semester 1. Sekilas aku seperti
familiar dengan foto tersebut, tapi aku tidak tahu persis siapa dia. Ah
sudahlah, mungkin aku melihatnya ketika ikut ngaji Ibuk dulu, kan dia kakaknya
Asti pasti juga sering bolak balik di sekitar sini.
“itu
kakakku mbak, namanya Firman.” Suara Asti dari belakang mengagetkanku yang
sedang berpikir tentang siapa cowok itu.
“eh
Dek Asti..“ kataku refleks dan sedikit kelabakan. Aku mencoba untuk tetap
terlihat biasa saja, takut nanti Asti mikir yang aneh-aneh. “aku kayak pernah
lihat kakakmu dek, tapi lupa dimana, mungkin pas aku ikut Ibuk ke pengajian kali
ya?” lanjutku
“owh
mungkin pernah mbak, dulu kan kakaku juga mondok di Al-Huda, baru pindah pondok
tahun lalu. Katanya sedang berusaha memantaskan diri untuk menjemput jodoh. Tau
tuh jodohnya dimana. Dia emang kadang suka aneh sih mbak, aku yang adiknya aja
kadang bingung. Tapi aku seneng sih dia mondok yang jauh dari rumah, jadi gak
bisa pulang sesukanya. Wkwk” jelas Asti.
“loh,
mondok di Al-Huda juga? Emm mungkin aku pernah ketemu di pondok kali ya, tapi
dulu belum tahu kalau itu kakakmu, jadi ya nggak tak sapa juga. Hehe”
“dulu
juga Mbak Fina belum kenal aku kan?”
“belum,,
hehe”.
Asti
hanya tersenyum lalu pergi ke belakang sebentar dan tak lama kemudian kembali
lagi dengan menenteng sesuatu di tangan kanannya.
“ya
udah mbak, pulang yuk, nanti sampai pondok kesorean nggak enak, keburu ngaji
juga. Ibuk sama bapak belum pulang jadi nggak bisa bawa makanan banyak, ini
seadanya aja yang di kulkas tak bawa.”
Aku mengangguk dan langsung bergegas
kembali ke pondok. Sekilas kulihat isi plastik yang dibawa Asti, ternyata
isinya buah-buahan dan beberapa roti kering. “kayak gitu dibilang apa adanya?
itu aja nanti pasti jadi rebutan.” Batinku dalam hati.
Tak
terasa lebaran kurang beberapa hari lagi. toko-toko sudah mulai melakukan
pemberian diskon besar-besaran untuk menyambut lebaran dan perusahaan mulai
memberi cuti untuk karyawanya. Ketika teringat bahwa ini adalah Ramadhan
terakhirku di pondok aku merasa lebih berat pergi dari sini. Terlalu banyak
kenangan yang kuhabiskan disini. Mungkin emang gak terlalu menarik sih karena
aku bukan orang yang suka melakukan sesuatu di luar garis aman, jadi ya
kenanganku gitu-gitu aja. Tapi ya tetap saja, 5 tahun bukanlah waktu yang
sebentar untuk menciptakan berbagai kenangan. Satu per satu para santri kembali
ke rumah masing-masing baik yang kilatan maupun yang santri beneran termasuk
aku. Ramadhan ini aku pulang untuk seterusnya, Abah dan Umiku datang menjemput
sekalian pamitan sama Yai dan Bunyai. Barang-barang yang kubawa pulang tidak
terlalu banyak karena sebagian sudah kubawa pulang dulu sebelum lebaran, ada
juga yang kuhibahkan untuk anak-anak. Ya begitulah tradisinya, kalau ada santri
senior boyong harus ada kenang-kenangan yang ditinggal untuk santri lainya. Aku
dulu juga pernah dapat kerudung dari Mbak Ayis ketika dia mau boyong, eh
sekarang malah gentian aku yang bagi-bagi. Ya begitulah hidup akan terus
berputar. Suatu saat nanti kamu juga akan merasakan apa yang mereka rasakan
meskipun hanya sekali.
Setelah
Lebaran aku sudah mulai mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkuliahan. Alhamdulillah aku sudah diterima di UNSIQ Wonosobo pada bulan
Ramadhan kemarin. Jadi aku tinggal mengurus administrasi yang lainya termasuk
tempat tinggalku disana nanti. Meskipun Abah dan Umi sudah merestui aku kuliah,
tapi mereka masih terus mendesakku untuk segera menikah. Setiap kali ngobrol
bersama selalu ujung-ujungnya memberi kode untukku segera menikah. Ahhh.. aku
sebenarnya juga mau, tapi belum menemukan imam yang tepat saja. Sudah ada beberapa
yang datang ke rumah sih, tapi ya begitu, aku masih kurang klik dengan
semuanya. Endingnya, Umi akan menceramahiku dari Shubuh sampe Maghrib.
Besok Abah Nafi’ (Pak Yai ku) mau ke
desaku mengisi pengajian dalam rangka sedekah bumi. Sengaja aku mengusulkan
mauidzohnya yang mengisi Abah Nafi’ supaya sekalian bisa mampir ke rumahku. Dan
pas aku kabari, alhamdulillah beliau mau mampir ke rumah. Bahkan kata beliau,
sekalian satu keluarga ikut dan ngajak santri juga. Ada hal yang mau dibicarakan
sama Abah dan Umi katanya. Aku agak penasaran, kok tumben ya. Biasanya kalau
ngisi pengajian paling Abah hanya berangkat dengan 2 atau 3 santri saja. Lah
ini kok sampe bawa satu keluarga mau apa ya? Husnudzonku, karena Abah dan Ibuk
kangen sama aku. Hehee.
Acara
Pengajian dimulai jam 7 malam (ba’da isya’) tapi Ibuk berangkat dari Kendal jam
1 siang dan sampai di rumahku mungkin sekitar jam 2 atau setengah 3. Segala
kebutuhan untuk penyambutan tamu agung sudah siap. Ketika Mobil Ibuk sampai di
depan rumah aku langsung menghampiri untuk salaman dan memberi hormat kepada
Ibuk dan Abah Nafi’ yang juga di sambut oleh Abahku. Selesai salaman, tiba-tiba
Ibuk membisikkan sesuatu di telingaku.
“Ibuk
rene karo Aji lan keluarga, tak restuni, mugo-mugo barokah. (ibuk kesini sama
Aji sekeluarga, tak restui, semoga barokah)”
Jlep.
Seketika aku mengangkat wajahku ke atas menatap Ibuk dengan Wajah kaget nggak
percaya dengan apa yang diucapkan barusan. Aku bagaikan kena serangan listrik
200V. “ngapain juga Ibuk ngajak Kang Aji dan keluarganya? Ada kata-kata
direstui lagi, yang barokah sih gak papa, tapi ini maksudnya apanya yang
barokah? Perasaan juga hanya ada satu mobil, dan Kang Aji juga nggak muncul
bareng mobil Ibuk, hanya beberapa santri yang turun bersama ibuk dan itu pun
cewek semua.” Batinku dalam hati.
Tiba-tiba
dari belakang ada mobil lagi yang berjalan ke arah rumahku. Haduh firasatku udah
nggak baik ini. Dan ternyata benar itu mobil Kang Aji. Aku tak berani melihatnya,
kutundukkan saja wajahku. Mendengar Abah Nafi’ memanggil nama Aji saja sudah membuatku
bingung mau ngapain apalagi harus menyambutnya sendiri.
“Mbak
Finaaa.. “ suara cewek yang familiar ku dengar memanggilku dari arah mobil
keluarga Kang Aji. Akhirnya kuangkat wajahku dan mencari sumber suara. Ternyata
benar dugaanku, itu suara Asti. Aku mempersilahkan Ibuk masuk rumah bersama Umi
lalu aku pergi menghampiri Asti dan mengajaknya masuk ke dalam
“Dek
Asti? Kesini ikut Ibuk? Bukannya kamu udah pulang ke rumah?” tanyaku ketika
sudah sampai di dalam rumah.
“nggak
mbak, aku sama keluargaku. Sama kakaku juga, Kak Firman. Inget to? Orang di
foto yang sering kuceritain itu lho. Inget kan?”
Firman?
Bukanya yang satu keluarga kesini itu Kang Aji? Kok Firman kakaknya Asti sih?
Aku celingukan mencari wajah yang ada di foto untuk memastikan siapa sebenarnya
yang datang, jangan-jangan Ibuk tadi hanya menggodaku. Ah.. kutemukan wajah
yang di foto, agak beda sedikit sih. Yang asli lebih keren maksudnya.. hehe.
Tapi aku masih bingung sebenarnya dia Firman atau Kang Aji? Jangan-jangan…
“nama
lengkap kakakmu siapa dek?”
“emm..
Firman Aji Saka kayaknya mbak, aku juga agak lupa. Hehe J
tapi kayaknya itu bener.”
Mendengar
nama itu tiba-tiba aku memiliki firasat yang tidak baik. Di saat aku berpikir
tentang kebenaran antara Firman dan Kang Aji, Umi datang menghampiriku dan Asti
di ruang keluarga.
“Nak
Aji mau ngomong sama kamu Fin, penting.” Kata Umi. Aku hanya mengangguk dan berjalan
ke ruang tamu di belakang Umi. Sampai di ruang tamu aku melihat jelas wajah
yang dipanggil Kang Aji. Dan itu adalah wajah yang sama denga foto di rumah
Asti.
Jadi
firasatku benar bahwa dia adalah Kang Aji alias Firman? Oh Tuhaan.. sempit
sekali dunia ini. Bagaimana mungkin aku suka sekaligus tidak suka dengan satu
orang? Aku suka dengan Firman tapi tidak suka dengan Kang Aji, padahal mereka
satu tubuh. Apa karena aku yang tak pernah melihat dia bagaimana dan hanya
menilai dari cerita orang saja? Ampuni aku ya Allah. Seketika itu aku malu
dengan diriku sendiri. Sampai di ruang tamu aku terus menunduk, tak sanggup
meliha wajah Firman.
“Alfina,
dengan bismillah dan segala tekad yang kumiliki, hari ini aku memberanikan diri
untuk meminta tanggung jawab atas dirimu dari orang tuamu. Mungkin sebelumnya
kamu sudah mengenalku ketika di pondok, ya begitulah aku dengan segala
kekurangan yang kumiliki. Aku berharap kamu mau melengkapi kekuranganku dengan
kelebihan yang kamu miliki dan semoga aku bisa ridla dengan jawaban apapun yang
kamu berikan.” Kata Kang Aji dengan nada serius dan penuh makna di hadapan
orang tuaku, orang tua dia, dan Abah Ibuk. Ya Allah… perasaan macam apa ini?
Kenapa hatiku tiba-tiba luluh dengan perkataan Kang Aji? Kenapa dia jadi
terlihat berbeda? Rasanya mulutku tak sanggup untuk berkata “tidak”. Padahal
sebelumnya aku mudah saja mengambil keputusan untuk tidak menerima lamaran
laki-laki yang datang ke rumah. Aku ingin bilang iya tapi posisi aku mau
kuliah, terus aku harus gimana?
“kami
semua sudah setuju nak, sekarang keputusan ada di tanganmu. Kamu tidak usah
berpikir bagaimana kuliahmu nanti, tadi kami sudah menemukan solusinya.
Kebetulan kemarin Firman di minta untuk mengajar ngaji di salah satu pondok
pesantren di Wonosobo, jadi setelah menikah nanti kamu bisa tinggal bersama
dia. Ya memang gak terlalu bagus tempatnya, tapi insya Allah fasilitas
terpenuhi dengan baik. Bagaimana?” kata Ibunya kang Aji yang seolah mengerti
apa yang sedang kupikirkan. Ya Allah kenapa momenya tepat sekali? Semuanya
terjadi seperti apa yang aku doakan setiap malam meskipun orang yang Engkau
kirim adalah dia yang tak pernah terlintas sedikitpun akan menjadi imamku. Cara-Mu
memperkenalkan kekuasaan yang Kau miliki sungguh indah. Semoga ini adalah
takdir yang terbaik dari-Mu.
“Bismillahirrohmanirrahim..
dengan ridla Allah Alfina menerima lamaran Kang Firman bah, mi.” Kataku dengan
perlahan dan sedikit menahan gerogi.
“Alhamdulillah…”
serentak semua orang yang berada di ruang tamu mengucapkan hal yang sama.
Sekilas ku lihat Kang Firman tersenyum lega seperti terbebas dari jeratan tali
yang mengikat tubuhnya. Ahhh apa yang sedang kurasakan? Aku merasa ini masih
seperti mimpi. Terima kasih Tuhan.
Aku
mengerti bahwa tak semua yang baik di mata masyarakat baik juga di hadapanmu.
Mungkin dulu aku memang dianggap tidak bisa berpikir normal karena lebih
memilih mondok dan meninggalkan kuliahku. Aku dulu juga sempat ragu, tapi nggak
tau kenapa hatiku mendorong untuk tetap bertahan. Sekarang setelah tidak di
pondok lagi, aku mengerti apa yang membuatku lebih memilihnya. Iya, itu cinta.
Aku cinta dengan pondok, aku cinta dengan Abah Nafi’, aku cinta dengan segala
sesuatu yang ada disana. Apalagi dengan petuah Abah Nafi’ yang selalu mengena
di hati. Kelemah-lembutan yang beliau berikan mampu meluluhkan hati para santri
yang mendengarnya. Aku pernah berharap semoga imamku nanti seperti beliau yang
penuh kasih sayang dan lemah lembut, yang memahami secara benar makna tanaman
padi (semakin berisi semakin merunduk).
Aku
masih teringat sekali dengan pesan Abah Nafi’ terhadap semua santrinya
“belajarlah dalam segala hal, baik di sekolah, di pondok, di kuliahan, atau
bahkan dijalan pun kamu harus tetap belajar tapi ya ndak berarti kamu jalan
sambil baca buku gitu. Belajar dari apa yang kamu lihat, kamu baca, kamu dengar
dan kamu rasakan. Kalau sudah paham ajarkan pada yang lain yang belum mengerti.
Sekiranya ilmu yang kamu ajarkan nanti bermanfaat untuk seterusnya dan bisa
jadi amal jariyahmu yang kamu tunggu nanti pas kamu udah kembali.”
Ya
Allah Abah.. aku rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar